Showing posts with label Psikis. Show all posts
Showing posts with label Psikis. Show all posts

Tuesday, September 29, 2015

PIROGRAFI SEBAGAI TERAPI PSIKIS

Pengantar

Pirografi karya Anjani Gallery "Javanese Blade"

(1). Kalau saat ini Anjani Gallery mengangkat tema bahasan tentang pirografi dihubungkan dengan psikologi, sepertinya akan ada banyak rasa penasaran dari teman-teman pembaca. “Sensasi apa yang akan dibahas galeri lukisan-bakar ini ?” demikian kira-kira ungkapan rasa penasaran yang muncul. 
Apa hubungannya Pirografi dengan Psikologi? Jawaban yang paling sederhana adalah Pirografi dan Psikologi itu sama-sama berhuruf awal “P”, dan hubungan antara keduanya "baik-baik saja”.

(2). Dalam dunia psikologi dikenal istilah Terapi Okupasi (occupational therapy), yaitu pengkajian dan pengobatan untuk mengembangkan, memulihkan, atau mempertahankan hidup dan ketrampilan kerja sehari-hari kepada seseorang yang mengalami gangguan fisik, mental, atau kognitif. Petugas Terapi Okupasi juga akan fokus pada mengidentifikasi dan menghilangkan hal-hal yang menghalangi kebebasan dan partisipasi seseorang dalam kegiatan sehari-hari. Terapi okupasi bisa menggunakan berbagai cara, salah satu cara yang dipakai adalah terapi seni. Maksudnya adalah terapi psikologis yang menggunakan media seni. Seni di sini bisa dalam arti luas, bisa seni musik, seni rupa (termasuk seni lukis, menggambar, seni patung, dll), seni sastra, seni tari, dll.
Seniman pokerwork jaman dulu sedang berkumpul

(3). Pirografi, yang arti lugasnya "menulis dengan api", atau sebutan jaman dulu adalah “pokerwork”, dikenal luas pada abad 17 dan bahkan sebenarnya sudah dikenal sebagai bagian dari Seni Tua dalam painting, drawing dan carving sejak jaman Mesir-Kuno (tahun 660 SM). Di jaman Fir'aun, pirografi selain dikenal sebagai bentuk seni, orang-orang Mesir kuno memakai media pembakaran kayu (wood-burning) kegiatan membakar kayu untuk menghasilkan asap dan wangi-wangian dipercaya sebagai cara untuk penyembuhan orang-orang dengan penyakit tertentu. Oleh karena di sini pirografi dikenal bentuk kegiatan Seni Tua, maka dengan sendirinya pirografi menjadi bagian dari psikologis untuk Terapi-Seni.

(4). Harus diakui, tulisan dalam blog ini memang bukan dirancang untuk mengunggah Jurnal Ilmiah (Scientific Journal), dan bukan pula untuk bicara mendalam tentang aspek psikologi. Blog ini dirancang sebagai media berbagi informasi, pengalaman pembelajaran, dan berbagi karya seni pirografi. Dengan demikian, apa yang ditulis berikut ini hanyalah sebagai informasi selintas yang terkait dengan dan terpusat sekitar pirografi, dan bukan untuk dikritisi dari perspektif dan ranah psikologis secara ilmiah.

Pentingnya Terapi Seni

(5). Dalam psikologi, untuk melakukan pengkajian (assessment) dan penyembuhan (healing) bagi orang-orang yang sedang “terganggu” (gangguan fisik dan terutama mental), salah satu caranya adalah dengan menggunakan Seni (maksudnya "Seni sebagai Terapi"), yaitu proses kreatif yang dapat membantu orang untuk meningkatkan wawasan, mengatasi stress, bekerja melalui pengalaman traumatis, meningkatkan kognitif, memori dan kemampuan neuro-sensorik, meningkatkan hubungan interpersonal dan mencapai lebih besar untuk pemenuhan diri (atau awam mengenalnya sebagai aktualisasi diri). Tujuan dari terapi seni pada dasarnya adalah penyembuhan terhadap si “terganggu” tadi. Dalam terapi seni, gambar dunia batin si “terganggu”, yaitu suasana kebatinan, perasaan, pikiran, dan ide-idenya adalah hal yang paling utama dan penting yang didapat dari pengalaman hidupnya. Gambar dunia batin si "terganggu" ini perlu dianalisa oleh petugas terapis dan selanjutnya dikembangkan pendekatan & cara-cara untuk penyembuhan terhadap kondisi psikis si "terganggu".

(6). Dalam suatu diskusi Indonesian Street Art Database beberapa waktu lalu, beberapa narasumber menjelaskan bahwa terapi seni dapat mengubah keadaan diri seseorang dari kurang baik (dalam arti kondisi psikisnya) menjadi lebih baik. Seperti misalnya Seni Grafiti (street art, mural) untuk mencurahkan isi hati mampu menjadi kegiatan self healing (penyembuhan diri). Hanya sayangnya sangat sedikit pusat-pusat pendidikan psikologi yang memasukkan terapi seni untuk orang-orang dengan disabilitas atau “terganggu”. Program pemerintah saat ini juga masih sangat minim dalam pengembangan terapi seni. Minimnya pengembangan terapi seni dapat dilihat dari agenda pemerintah yang kurang sensitif terhadap fungsi seni. Pemerintah nampaknya lebih mengutamakan pengembangan kognitif dan religi daripada seni.

(7). Secara umum, seni mengutamakan unsur keindahan dan afeksi dalam mengasihi dunia di sekitar kehidupan. Seni menjembatani hubungan harmonis antara dunia batin manusia dengan dunia luar di sekitarnya. Pengabaian terhadap seni bisa berdampak de-humanisasi dan bahkan de-naturalisasi, yaitu makin merendahkan martabat kemanusiaan dan penghancuran alam. Kasus kabut asap yang berkepanjangan di Sumatera dan Kalimantan, dan selalu terulang dari tahun ke tahun bisa jadi hasil dari pengabaian terhadap fungsi seni dalam menjembatani dunia batin dan dunia luar di zaman Anthropocene. 

Beberapa referensi tentang Anthropocene bisa diikuti di sini:
https://en.wikipedia.org/wiki/Anthropocene
https://www.nationalgeographic.org/encyclopedia/anthropocene/
https://www.anthroencyclopedia.com/entry/anthropocene
https://www.merriam-webster.com/dictionary/Anthropocene
https://www.nhm.ac.uk/discover/what-is-the-anthropocene.html
https://www.smithsonianmag.com/science-nature/what-is-the-anthropocene-and-are-we-in-it-164801414/


(8). Kembali ke topik di atas, nampaknya pirografi sebagai cara terapi jiwa ini mengalami nasib yang mirip dengan pengalaman Galieo yang pada jaman itu banyak ditentang para ilmuwan dan rohaniwan. Masalahnya waktu itu adalah Galileo terlalu dini menjelaskan teori heliosentrime (bahwa matahari sebagai pusat dan bumi mengelilingi matahari) di tengah jaman dan masyarakat yang menganut teori homosentrisme (bumi sebagai pusat dan matahari mengelilingi / mengitari bumi). Walaupun istilah Terapi-Seni oleh beberapa ilmuwan masih sering diperdebatkan, namun akhirnya belakangan ini oleh banyak praktisi makin jelas menggunakan dan mengadopsi, apalagi kalau dijelaskan dengan terminologi neuro-science. “Penjelasan tentang Terapi-Seni kalau diutarakan dengan tema Neuro-science dapat menjadi lebih konkret, berorientasi tujuan dan berbasis hasil (termonitor dan terukur). Apakah diterima atau tidak, sedikitnya penjelasan ini adalah lebih bagus walau masih tetap diperdebatkan. Dari perspektif ini, terapi seni menjadi liniear, prosesnya jelas, lebih bisa dijamin ketepatannya, selain juga bisa dilakukan dengan cara yang murah”, demikian penjelasan dari Noah Hass Cohen, Art Therapist dan Ahli Neuroscience Klinis.

Pirografi Galileo karya Joseph Smith,1824
(9). Untuk memperdalam pengetahuan mengenai terapi seni, Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta beberapa waktu lalu pernah mengundang salah satu pakar terapi seni, yaitu Evelin Witruk. (Peneliti dan psikolog di Institute for Psychology, bagian Pendidikan dan Psikologi Rehabilitasi, Faculty of Biosciences, Pharmacy, and Psychology di Universitas Leipzig, Jerman). Witruk berbagi pengalaman dan ilmunya kepada mahasiswa dan para psikolog di Fakultas Psikologi UGM. Dalam pengembangan terapi seni, Witruk menekankan pentingnya painting (melukis) dan drawing (menggambar). Terapi Seni bisa dilakukan terhadap anak-anak, remaja, sampai orang-tua. Apakah mereka bisa menggambar atau tidak bisa menggambar, itu tidak masalah, tapi dalam terapi seni, mereka akan terlihat persoalan psikologi yang sedang mereka hadapi, sehingga mudah untuk segera dicari pemecahannya. 


“Selama ini mahasiswa maupun profesi psikolog lebih banyak dikenalkan pada pendidikan dan latihan dengan terapi yang masih bersifat konvensional. Terapi seni yang dikembangkan oleh Witruk telah dipraktikkan terhadap anak-anak korban tsunami di Aceh. Terapi seni yang dilakukan kepada anak-anak korban tsunami Aceh ini cukup berhasil untuk memulihkan kembali (recovery) kondisi psikis mereka pasca Tsunami," kata Adiyanti, Ketua Program Studi Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi UGM. 

(10). Di Singapura bahkan ada sekolah khusus pembekalan bagi Art Therapist bergelar Master of Art. Program studi mereka merupakan kerjasama ANZATA (Australia dan Selandia Baru Association Terapi Seni) yang mendidik dan memberkali kemampuan mahasiswanya untuk memperoleh AThR mereka (yaitu sertifikat terapis seni terdaftar di Australia, Selandia Baru dan Singapura). Lulusannya juga berhak untuk mengajukan permohonan pendaftaran di Inggris melalui HPC (Dewan Profesi Kesehatan), dan, dengan jam supervisi yang cukup, selanjutnya lulusan dapat mengajukan permohonan untuk ATR (terdaftar sebagai terapis seni di Amerika Utara) melalui ATCB (Dewan Terapi Seni Kredensial). Lulusan juga dianjurkan untuk mengejar keanggotaan mahasiswa di salah satu dari organisasi profesi selain ATAS (Art Therapist 'Association Singapore). 

(11). Pegawai psikologi Bagian Pengurusan Sumber-daya Manusia Kementerian Penerangan, Komunikasi dan Kebudayaan, Malaysia, Mohd Faeez Zakaria menyatakan bahwa Terapi Seni merupakan terapi psikologi melalui lukisan, tarian dan drama untuk mendiognasis masalah penderita. Pendekatan ini kini banyak dipraktekkan di berbagai rumah-sakit di Malaysia. "Cara ini dapat membantu doktor dan pakar psikologi mengenal-pasti masalah pesakit dan dapat memberikan rawatan yang tepat terutama bagi pesakit yang tidak mampu meluahkan masalah atau menceritakan sesuatu peristiwa yang menyakitkan hati mereka," kata Zakaria .

(12). Menurut US Department Veterans Affairs, terapi seni sangat penting karena dapat digunakan untuk mengobati dan menilai kecemasan, depresi, penyalahgunaan obat terlarang, kecanduan, trauma dan masalah mental dan emosional lainnya dari seorang veteran perang. Seni punya kekuatan untuk memasuki wilayah ketidak-sadaran seseorang dan mendapatkan akses ke emosi, serta pengalaman yang terkubur jauh di dalam ingatan otak, tanpa harus orang itu menjadi seniman yang handal. Terapi seni sekaligus juga bisa memberikan selingan yang menyenangkan bagi orang yang menderita kesulitan jiwa dan traumatis. Seni dapat mengurangi mati rasa bersosial dan membantu membangun kembali fungsi sosial seseorang. Karya seni juga bisa berfungsi sebagai rekaman-visual dan bukti kondisi mental seseorang, tetapi juga dapat berfungsi sebagai wadah untuk kondisi emosi yang sulit.

(13). Lain lagi dengan pengalaman mantan pasien RSJ-Magelang, Widiyanto, melukis telah menjadi salah satu cara terapi untuk kesembuhannya dari gangguan jiwa. Sebelumnya, sudah berpuluh kali dia keluar-masuk RSJ dan terakhir dia sembuh karena dia melukis selama di RSJ. Lukisan-lukisan hasil karyanya indah dan tertata rapi di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Dr Soerojo-Magelang. Lukisan itu ada yang masih dilukis dalam bentuk sketsa pensil, ada yang sudah dibingkai dan diwarnai dengan bagus.

(14). Lembaga Pemasyarakatan Krobokan di DIY juga menyediakan fasilitas seni bagi para napinya untuk melukis yang dipandu oleh relawan asing. Tujuannya selain untuk menjaga kesehatan mental selama di penjara, juga sebagai media penyaluran bakat seni. Beberapa hasil karya para napi ini bahkan sudah pernah dipamerkan di galeri seni di Kuta dan Ubud-Bali dan beberapa lainnya sudah dibeli oleh kolektor dengan harga jutaan.

(15). David Gussak, PhD, ATR-BC, yaitu professor dan pimpinan Florida State University Department of Art Education menyatakan bahwa dia mendukung program seni di penjara karena bisa mengurangi kecemasan, stress, rasa takut dan menggantinya dengan keterampilan yang sehat dan kebutuhan kesehatan mental yang baik, terapi ini sangat eksploratif dengan pelatih yang profesional.

(16). Terapi seni dapat juga menawarkan penghiburan dari rasa sakit-fisik dan membantu membangkitkan syaraf-syaraf kesembuhan tertentu. Sastrawan serba bisa Putu Wijaya banyak melakukan aktivitas melukis dengan maksud agar  aktivitasnya tidak mati, karyanya berjalan terus dan otak akan terus berpikir. "Kegiatan ini membuat membuat kita lebih segar," kata Putu. Melukis ini sebagai terapi stroke dan ini terinspirasi dari pengalaman pelukis ternama Adam Lay yang sudah mengalaminya sendiri.

Apa Lebihnya Pirografi Sebagai Pilihan Terapi ?

(17). Walaupun pirografi sebagai salah satu cara terapi psikologis sampai saat ini masih banyak diperdebatkan, namun harus diakui bahwa secara perlahan makin diterima dan para terapis mulai menaruh minat terhadap pirografi sebagai cara untuk terapi. Dalam Pyrography e-Museum (museum elektronik) di Amerika pada bagian bertajuk Special Pyrography, banyak menyoroti topik pirografi sebagai cara penyembuhan (Pyrography as a Healing).

(18). Aline Hoffman, PhD seorang Art Therapist sekaligus pengelola pusat terapi psikologis Solution Alternatives, menyatakan bahwa pirografi adalah bentuk seni yang telah memberi dia keberanian untuk melangkah dan menyatakan bahwa "ini adalah waktu saya”.  Sejak kecil dia berkeinginan menjadi seorang seniman terfokus, tapi sampai Maret 2015, itu tidak terjadi. Saat dia mengenal pirografi, dia melepas papan di depan rumahnya yang bertuliskan "Hypnosis Untuk Kesehatan" (dan diganti dengan "Pirografi Untuk Kesehatan"), sebagai bukti bahwa dia memang membuat keputusan yang tepat. Menurutnya  keputusannya untuk berpirografi tepat karena setelah banyak penelitian dan kesaksian yang dia baca dan itu meyakinkan dia, lalu akhirnya dia membeli Razortip type SS-D10 (alat pen untuk pirografi) dan memulai berpirografi.

James William Fosdick di studio pirografi, 1894
Beberapa hasil pertama pirografinya kurang bagus, sebagian besar hanya gambar garis. Dia melatih diri terus, dia merasa memperoleh kepercayaan diri penuh dengan media baru ini, sebagai terapis dia merasa makin bisa bekerja lebih rinci, konsentrasi, dan fokus. “Ketika Anda melihat hasil karya Saya awal dan membandingkan saat ini, Anda dapat melihat bagaimana hasil karya Saya secara bertahap telah berkembang signifikan” kata Aline.

(19). Di Sussex Partnership, NHS Foundation Trust, pusat terapi psikologis di Inggris, dalam program terapinya juga memakai pirografi sebagai salah satu cara dalam menterapi pasiennya yang mengalami Personality Disorder (gangguan kepribadian), yaitu pola mal-adaptif berkelanjutan dari pengalaman batin, kognisi, dan perilaku yang berdampak pada kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain dan/atau sendiri dalam budaya atau cara-cara yang diharapkan).

(20). The Champvert, klinik psikiatri yang berpusat di Perancis, adalah lembaga yang mengakui manfaat dari terapi seni dan secara khusus mengidentifikasi pirografi sebagai kontributor penting dari program terapi mereka terhadap pasien-pasiennya.

(21). Dalam makalahnya "Occupational Therapy," Dr. Carmen Moratinos de Pablo mengutip catatan bahwa terapi okupasi dimulai pertama kali sejak 660 SM, yaitu digunakan sejak jaman Mesir kuno. Di antara kegiatan yang digunakan dalam terapi okupasi yang modern untuk pasien penyakit jiwa, dia secara khusus menyebutkan Pirografi.

(22). Beberapa waktu lalu, Mixo Sydenham,  seorang Art Therapist,  menyatakan bahwa alat pirografi ternyata banyak disediakan di penjara-penjara di Australia dan di unit-unit terapi okupasi.

(23). Helena Walsh, seorang Art Therapist, dalam bukunya tentang pirografi antik mengenai “Australia Pokerwork”, dia mewawancarai para orang-tua terkait dengan seni populer pada awal abad ke-20. Dia menulis bahwa ada banyak kisah yang menyayat hati terkait dengan cerita para veteran perang yang ingatannya terguncang akibat pertempuran/perang yang dialaminya (di Iran, Afganistan, Vietnam, dan lain-lain). Mereka, para veteran perang itu telah merespon positif atas manfaat pokerwork sewaktu mereka diperkenalkan dengan alat pirografi.

(24). Pada bulan Februari 1997, Johnathan Falch, yang saat itu seorang mahasiswa di Loma Linda University jurusan terapi okupasi, menulis mengenai penelitiannya: "Terapi Okupasi adalah penggunaan aktivitas tujuan atau intervensi yang mempromosikan kesehatan dan mencapai hasil fungsional. Saya meneliti bagaimana wood-burning (pirografi) berkontribusi sekali kegiatan terapi untuk berbagai pasien yang didiagnosis dengan cacat, mulai dari disfungsi fisik sampai penyakit mental. Sebagai contoh, untuk mengelola wood-burning dasar seorang individu harus memiliki keselarasan koordinasi motorik halus dan ketangkasan jari-jari mereka, harus punya persepsi tentang kedalaman yang baik, integrasi bilateral, integrasi visual-motorik, dan dapat memvisualisasikan perbedaan relasi yang mendasar. Dan sebenarnya masih banyak komponen kinerja lainnya dari pirografi yang sangat bermanfaat dan bernilai terapi. "

(25). Dua tahun kemudian, masih di Loma Linda University, seorang  siswa terapis okupasi bernama Tanya Miller menulis: "Adalah sesuatu yang menakjubkan  jika Anda menjadi bagian khusus yang mendedikasikan-diri untuk terapi melalui pirografi. Sebagai Therapist masa depan, kita diajarkan untuk mencari solusi rinci untuk kegiatan yang mencakup aspek sensorik, motorik, dan komponen psikologis. Dengan begitu kita dapat menilai apakah pasien tertentu akan mendapat manfaat dari  jenis proyek tertentu, jenis kemampuan yang diperlukan, dan adaptasi khusus yang perlu dibuat untuk orang tersebut. Pirografi bisa mencakup semua itu”.

(26). Terkait dengan penggunaan pirografi sebagai cara terapi, harus diakui, walaupun ada kebutuhan tertentu lainnya seperti kebutuhan perangkat listrik untuk mendukung peralatan woodburning (pirografi), juga masalah jaminan keamanan jika pirografi digunakan sebagai cara terapi, tapi nampaknya pirografi bisa jadi ide menarik dan terbukti kontributif. Secara prinsip, ada paradoks yang menarik dari pirografi terkait dengan bahan dan proses terapi, yaitu: 
(a). Pirografi berhubungan dengan Terminologi Agresifitas (melalui kondisi suhu, panas dari proses pembakaran media), dan sekaligus 
(b). Pirografi berhubungan dengan Proses Meditasi (memerlukan konsentrasi yang intensif dan fokus). 

Note: Bisa dibaca kembali tulisan awal di blog ini tentang "Mengenal Seni Pirografi", dimana Anjani Gallery juga sudah menjelaskan, bahwa untuk berpirografi sangat diperlukan "suasana-hati" yang nyaman, untuk bisa fokus, dan ruangan yang aman untuk mencapai hasil yang berkualitas. Ada juga blog yang mengupas mendalam tentang Pirografi Sebagai Pendekatan Spiritual (pyrography as spiritual approach), namun tidak kita bahas dalam tulisan ini.

Alat-alat pirografi (pen solder, regulator, fire spray)

(27). Colleen Messina (Art Therapist) menyatakan, bahwa saat ini, metoda pembakaran kayu (Pirografi) telah bangkit kembali sebagai bentuk Seni, juga sebagai bentuk Rekreasi, dan bentuk Terapi bagi mereka yang dengan banyak penyakit. Pirografi bisa menjadi bernilai lebih dari sekedar hobi bagi orang-orang yang bermasalah secara fisik.  Ada kesaksian, seorang perempuan didiagnosis dokter menderita Rheumatoid Arthritis sejak dia berusia 15 tahun. Dia sudah mencoba terapi masalah fisiknya dan terapi dokter untuk sistem sarafnya kemana-mana. Dokter memvonis bahwa ia tidak mungkin lagi bisa memiliki kehidupan yang normal. Perempuan itu tetap tidak percaya mereka dan tetap berusaha dengan semangatnya. Suatu saat perempuan tertarik dengan pirografi dan ia memutuskan untuk mencoba pirografi (pembakaran kayu) untuk mengatasi penyakit rematiknya tersebut. Setiap saat ia coba berpirografi, ia merasa ada kehangatan suhu dari alat pirografi yang merambat ke organ tubuhnya dan ditambah semangatnya yang membara untuk menghasilkan karya seni yang baik. Hasil akhir ternyata ia sembuh dari penyakitnya, bisa menjalani kehidupan secara normal dan memuaskan. "Saya telah melihat mukjizat kerja dari pirografi dalam hidup saya”, kata perempuan itu.

Penutup

Nampaknya cukup banyak potongan-potongan premis yang terdeskripsikan di atas untuk menguatkan kontribusi pirografi dalam terapi psikologis. Tentu masih banyak tulisan yang bisa diperdalam dari beberapa referensi link di bawah ini. Mudah-mudahan tulisan di atas bermanfaat selain untuk menambah informasi pengenalan tentang pirografi, juga bisa menjadi tawaran solusi alternatif bagi mereka yang merasa “terganggu” hidupnya, dan bagi mereka yang ingin mengisi waktu pensiunannya (Ingat, dampak power sindrom saat pensiun) dengan kesibukan bermanfaat. 

Salam Pirografi !!!
WN/Anjani Art Gallery

Referensi: